Teman vs Musuh

Musuh?
Kalimat yang sangat hati - hati kugunakan.

Dari judul postingan ini saja kita sudah bisa berimajinasi akan apa isi postingan ini.

Terhitung September 2014, aku memulai masa pendidikanku di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) *yang sekarang berganti nama menjadi Politeknik Keuangan Negara STAN*. Awalnya, ini merupakan hal yang baru dan sangat menantang bagiku. Bayangkan saja, aku yang dari lahir sampai tamat SMA di Medan, harus pindah dan merantau ke Bintaro demi melanjut ke jenjang perkuliahan. Ditambah lagi, dari TK - SMA aku menjalani masa pendidikan di lingkungan sekolah Kristen swasta dan ga pernah pindah (artinya ya situasi sosial lingkunganku ya gitu gitu aja) berbanding terbalik tentunya dengan STAN. Di kampus ini, seluruh anak muda dari berbagai daerah dikumpulkan, ragam etnis dan budaya, tentu dengan ragam agama juga (berbeda dengan sekolahku dulu yang sudah jelas sekolah Kristen). Kesan pertama ya pasti kaget, kagok, minder, dan sejenisnya menyerang, but show must go on. Dari mulai dinamika sampai akhir semester 1 aku mempelajari sifat sifat baru yang kutemui, mulai dari logat bahasa sampai ke gaya penampilan. Semuanya berjalan lancar dan aku pun mulai bisa melebur dengan kondisi baru ini.

Ketika awal perkuliahan, kuberanikan diri untuk mencalonkan diri sebagai ketua kelas, tentunya bukan sembarang mencalonkan. Dari dulu aku punya minat untuk berbicara di depan orang banyak dan tentunya mengarahkan para pendengarku, ga bermaksud kepedean tapi ya bibit bibit pemimpin sudah mulai terasa. Hingga akhirnya aku pun memenangkan pemungutan suara. Jadi ketua kelas di lingkungan yang baru jujur sangat sulit dan melelahkan. Aku harus bisa menyatukan pemikiran 37 anak lainnya agar menghasilkan satu keputusan yang terbaik dan menyenangkan berbagai pihak. Karna aku orangnya suka memimpin, kulanjutkan lagi mimpiku ke tahap berikutnya, Calon Ketua Angkatan.


Disinilah awal mulanya inti dari judul diatas...

Tentunya setiap manusia menginginkan menambah teman dibanding menambah lawan. Namun sebaliknya, pada suatu apel di sore hari, salah satu statementku menuai banyak kontra. Banyak yang tidak menyukai caraku menanggapi masalah yang ada dan akhirnya secepat kilat banyak yang langsung menatap dengan sinis dan bahkan menjauh. Sebelum akhir jabatan ketua kelas di semester 2 aku terlebih dahulu mengundurkan diri (3 bulan sebelum akhir semester) karena tidak tahan akan perkataan orang orang yang tidak suka. Tingkat 2? Amanah itu tidak kudapat, ya akhirnya menikmati sebagai warga kelas biasa. Tingkat 3? Kuberanikan diri untuk kembali mencalonkan diri. Berhasil ! Menang ! Tapi... hanya bertahan 1 semester, karena entah kenapa, mungkin kesalahanku, banyak orang yang berpaling, kembali lagi harus meletakkan jabatan yang ada sebelum akhir semester.

Banyak hal yang membuat aku terkadang berpikir, apa aku salah? apa karakterku belum benar? mengapa aku selalu mengundang kebencian itu untuk datang?

Bahkan itu masih satu contoh kasus dari sekian banyak kasus yang melibatkan aku dan si 'benci'. Apakah sulit menerimaku sebagai teman? Jujur ketika masa masa libur atau masa masa ujian tiba, aku kesulitan untuk mencari teman yang bisa diajak jalan atau belajar. Kalau orang pada foto di ig menunjukkan 'geng'nya, ya aku... boro boro geng...

Tapi masih ada segelintir orang yang at least masih menerima keberadaanku. Teman? Aku sih yes, mereka? who knows?

Komentar

Posting Komentar